Antara Catatan Ma Huan dan Fakta Sejarah Makanan Majapahit – Ketika mendengar catatan Ma Huan, seorang juru tulis sekaligus penerjemah dari ekspedisi Cheng Ho pada abad ke-15, banyak orang mungkin langsung mengernyitkan dahi. Ia menulis bahwa masyarakat Majapahit makan serangga, semut, ulat, dan hewan-hewan lain yang menurut standar Ma Huan tampak aneh. Bahkan ia menyebut mereka malas mandi dan makan dengan tangan, hal yang membuatnya menganggap penduduk Jawa Kuno sebagai masyarakat yang “barbar”. Jika membaca cerita ini, banyak yang mungkin penasaran dan ingin tahu lebih jauh tentang makanan khas zaman dulu yang sesungguhnya. Nah, untuk yang tertarik mengeksplorasi, bisa cek juga Rekomendasi Kuliner Tempo Dulu yang menghidupkan kembali rasa otentik Nusantara.
Namun, apakah benar begitu? Mari kita duduk santai sambil ngopi dan mengupasnya satu per satu. Perlu diingat, Ma Huan memang sumber sezaman, tetapi bukan sumber langsung dari internal masyarakat Jawa sendiri. Ia lebih seperti turis yang menulis catatan perjalanan dari sudut pandangnya sebagai outsider, dengan segala bias budaya yang ia bawa dari Tiongkok.
Bayangkan kalau saat ini ada turis yang ke Minangkabau, lalu bilang rendang itu makanan aneh karena dimasak berjam-jam sampai kering dan warnanya gelap. Padahal, di baliknya ada filosofi, teknik memasak canggih, dan nilai budaya yang tinggi. Nah, kira-kira begitu juga bias yang mungkin terjadi pada tulisan Ma Huan.
Cross-Check dengan Sumber Lokal
Untuk mendapatkan gambaran yang lebih utuh, mari kita cek juga sumber-sumber lokal seperti prasasti, relief candi, serta kitab-kitab kuno seperti Negarakertagama dan Kakawin Ramayana. Dari sana, kita bisa tahu bahwa masyarakat Jawa Kuno, khususnya di era Majapahit, sebenarnya sangat sophisticated dalam hal makanan. Bahkan, bisa dibilang mereka itu foodies sejati, yang tak hanya menikmati makanan, tapi juga mendokumentasikannya dalam bentuk seni.
Relief di candi-candi menggambarkan adegan makan lengkap dengan peralatan makan, lauk-pauk, dan camilan. Prasasti mencatat berbagai jenis bahan makanan dan teknik pengolahan yang sangat beragam.
Menu Lengkap dari Prasasti dan Candi
1. Nasi: Dewi Sri Pasti Bangga
Sebagaimana dalam banyak kebudayaan Asia Tenggara, nasi memegang peranan sentral dalam hidangan masyarakat Majapahit. Prasasti Rukam (907 M) bahkan menyebutkan berbagai jenis olahan nasi yang menunjukkan betapa kreatifnya mereka, seperti Nasi Kuning dan Nasi Tumpeng yang sarat simbolisme dalam ritual dan upacara adat yang terus hidup sampai sekarang:
-
Skul Paripurna: nasi tumpeng, simbolisasi gunung dan persembahan.
-
Skul Liwet: nasi liwet yang gurih dimasak santan.
-
Skul Dinyun: nasi dimasak dalam periuk, mirip nasi tim.
-
Skul Matiman: nasi kukus, mungkin seperti nasi uduk atau nasi gurih masa kini.
Selain beras, mereka juga mengonsumsi umbi-umbian seperti talas (lumbu), sagu, dan ketela. Namun nasi tetap menjadi raja yang mendominasi meja makan.
2. Lauk-Pauk: Ikan sampai Daging Eksotis
Jangan kira lauknya cuma serangga seperti yang dikatakan Ma Huan. Relief di Petirtaan Cabean Kunti (Boyolali) menunjukkan nasi dengan ikan utuh, telur rebus, sate, dan berbagai lauk lain. Prasasti juga mencatat:
-
Ikan: diasinkan (gereh), dikeringkan (dendeng), atau dibakar.
-
Daging: dari ayam, bebek, babi, kijang, bahkan kelelawar.
-
Telur asin (ikantigagarem) dan rawon (rarawwan) juga sudah dikenal.
Menariknya, kalangan elit kerajaan Majapahit punya hidangan eksklusif bernama rajamangsa, yaitu daging kambing tanpa ekor, kura-kura, sampai anjing. Tapi menu ini bersifat sangat khusus, hanya untuk bangsawan yang mendapat anugerah istimewa dari raja.
3. Sayuran dan Sambal Tanpa Cabai
Masyarakat Majapahit sudah akrab dengan sayuran segar yang disantap sebagai lalapan (rumwahrumwah). Pecel pun disebut dalam Kakawin Ramayana abad ke-9, artinya tradisi pecel sudah sangat tua. Sambal mereka juga unik, karena belum mengenal cabai merah seperti sekarang—cabai baru masuk ke Nusantara setelah kedatangan Portugis abad ke-16. Sambal Majapahit memakai lada Jawa (cabya) dan jahe sebagai bahan utama pedasnya.
Camilan dan Minuman: Dari Kerupuk sampai Arak
1. Camilan Kriuk dan Manis
Orang Majapahit juga suka ngemil, lho. Ada kerupuk rambak dari kulit kerbau yang sudah eksis sejak abad ke-9. Jajanan manis seperti wajik, tape ketan, lepet, dan rujak disebut dalam prasasti Paradah (934 M). Ini menunjukkan kecintaan mereka terhadap makanan ringan yang bertekstur dan bercita rasa manis-asam.
2. Minuman Segar dan Keras
Minuman tradisional juga sangat beragam. Dawet (es cendol) sudah disebut dalam Kakawin Kresnayana abad ke-12, membuktikan bahwa minuman manis dan segar adalah favorit masyarakat kala itu. Sementara itu, arak dan tuak melimpah dalam pesta-pesta kerajaan, sebagaimana tertulis dalam Negarakertagama.
Kenapa Catatan Ma Huan Beda dengan Negarakertagama?
Ada beberapa alasan kenapa catatan Ma Huan terasa kontras jika dibandingkan dengan Negarakertagama:
-
Beda Zaman: Ma Huan mengunjungi Majapahit saat masa krisis, tepatnya saat Perang Paregreg yang memporak-porandakan stabilitas dan ekonomi kerajaan. Sementara Negarakertagama ditulis pada masa puncak kejayaan Hayam Wuruk, di mana Majapahit tampil glamor.
-
Beda Lokasi: Ma Huan mungkin hanya berinteraksi dengan penduduk di pinggiran kota atau pelabuhan, bukan di pusat pemerintahan dan kota utama yang mewah dan penuh pesta.
Warisan Kuliner yang Tetap Hidup
Meskipun pengaruh Islam dan Eropa mulai mengubah peta kuliner Jawa setelah masa Majapahit, banyak tradisi makanan kuno yang bertahan hingga kini. Pecel, wajik, tape ketan, gereh asin, dan nasi tumpeng tetap eksis sebagai warisan budaya yang tak hanya mengenyangkan, tapi juga menyimpan nilai historis dan filosofi.
Jadi, lain kali jika ada yang mengatakan “Orang Jawa Kuno cuma makan serangga”, kamu sudah tahu jawabannya. Tunjukkan bukti dari prasasti, relief candi, dan kitab-kitab kuna yang mengisahkan betapa kayanya tradisi kuliner Nusantara zaman Majapahit. Sejarah kuliner kita jauh lebih kaya, kompleks, dan penuh warna, bukan sekadar snack serangga yang dibakar sebentar.