Kenapa Film Horor Indonesia Selalu Laris? Ini Penyebabnya!

https://ngefilm.id/

Kenapa Film Horor Indonesia Selalu Laris? Ini Penyebabnya! – Gue yakin lo semua udah ngerasain betapa film horor Indonesia tuh kayak nggak ada matinya. Dari zaman Kuntilanak, Jelangkung, sampe sekarang KKN di Desa Penari, bioskop kita selalu kebanjiran film hantu hampir tiap bulan. Bahkan di tahun 2025 ini, horor masih jadi raja box office, sementara genre lain kayak drama, thriller, atau sci-fi cuma numpang lewat. Baca selanjutnya untuk mengetahui kenapa fenomena ini bisa terjadi dan bagaimana cara memperbaikinya.

Tapi, penting buat kita nggak asal nyalahin penonton aja. Ini tuh masalah yang lebih dalam—menyangkut ekosistem perfilman secara keseluruhan. Mulai dari investor yang ogah rugi, sutradara yang main aman, bioskop yang hanya mikirin kursi terisi, sampai penonton yang males ngambil risiko nonton genre lain. Nah, di artikel ini gue bakal bahas kenapa film horor Indonesia terus-terusan laris, dampaknya ke industri film nasional, dan apa aja solusi realistis yang bisa kita lakuin bareng-bareng. Salah satu contoh menarik bisa lo lihat di Ulasan Film Sosok Ketiga, yang menunjukkan bagaimana elemen tradisional bisa dikembangkan jadi tontonan yang lebih bermakna.

Kenapa Orang Indonesia Demen Banget Sama Film Horor?

1. Budaya & Tradisi yang Melekat

Indonesia adalah negara yang kaya akan cerita rakyat, mitos, dan legenda horor. Sejak kecil, kita udah dicekokin sama kisah-kisah seram dari orang tua atau nenek-kakek, kayak “jangan main waktu magrib, nanti diculik genderuwo!” atau “jangan ngomong kasar, nanti disamperin pocong.”

Mitos lokal seperti kuntilanak, tuyul, leak, dan suster ngesot udah jadi bagian dari identitas budaya. Jadi pas cerita-cerita itu diangkat ke layar lebar, penonton langsung merasa relate dan penasaran. Apalagi kalau ceritanya diklaim “berdasarkan kisah nyata”—langsung auto rame!

2. Marketing yang Kreatif, Tapi Kadang Manipulatif

Nggak bisa dimungkiri, film horor Indonesia punya keunggulan di marketing. Kampanye mereka sering viral karena gimmick-nya jitu banget. Misalnya:

  • “Berdasarkan kisah nyata.”

  • Thread Twitter atau cerita viral kayak KKN di Desa Penari.

  • Behind-the-scenes yang katanya banyak pemain kesurupan atau lokasi syuting yang beneran angker.

Tapi sayangnya, banyak juga yang cuma menjual sensasi. Ceritanya sendiri kadang nggak sebanding dengan hype-nya. Banyak film horor yang cuma ngandelin jumpscare dan latar angker tanpa membangun cerita atau karakter yang kuat. Ini bikin kualitasnya jadi menurun meski promonya heboh.

3. Sensasi Nonton Bareng yang Seru

Nonton horor itu jadi ajang kumpul-kumpul sosial. Entah itu bareng pacar, teman nongkrong, atau keluarga. Momen teriak bareng pas adegan setan nongol, atau ketawa-tawa setelah film kelar, bikin pengalaman nonton jadi lebih hidup.

Hal ini dimanfaatkan sama bioskop dan produser. Karena biasanya orang nggak nonton horor sendirian, tiket terjual lebih banyak, apalagi pas weekend atau momen libur.

4. Budget Murah, Untung Gede

Buat investor, horor adalah genre paling aman. Kenapa? Karena biaya produksinya rendah tapi potensi keuntungannya tinggi. Lo nggak perlu efek CGI canggih atau lokasi luar negeri. Cukup rumah kosong, suara jeritan, makeup seadanya, udah bisa jadi film.

Contoh: film Qodrat atau Tumbal: The Ritual yang dibuat dengan budget terbatas tapi sukses secara komersial. Karena ROI-nya tinggi, investor jadi malas mendanai film yang lebih kompleks kayak drama sejarah atau sci-fi.

Dampak Negatif: Film Horor Bisa Bikin Industri Film Mandek?

1. Genre Lain Nggak Dapat Tempat

Karena bioskop dan investor fokus ke horor, film dengan genre lain seringkali sulit tayang di layar lebar. Banyak film drama, thriller, bahkan komedi bagus yang akhirnya cuma beredar di festival, atau mentok di platform digital.

Akibatnya? Penonton awam jadi nggak punya pilihan lain selain nonton horor. Film berkualitas yang nggak berbau mistis akhirnya tenggelam tanpa sempat dikenal publik.

2. Kualitas Film Horor Menurun

Ketika genre horor dijadikan “mesin uang”, banyak produser yang bikin film buru-buru hanya demi kejar rilis. Akhirnya:

  • Cerita klise dan bisa ditebak.

  • Jumpscare murahan tanpa atmosfer.

  • Eksploitasi agama atau budaya tanpa sensitivitas.

Banyak film horor yang lupa kalau horor yang bagus itu butuh buildup, karakter kuat, dan ide yang fresh. Bukannya seram, malah jadi lucu atau bikin penonton menguap.

3. Penonton Mulai Jenuh

Meski masih laris, tanda-tanda kejenuhan mulai muncul. Banyak penonton yang mengeluh kalau film horor Indonesia itu-itu aja:

  • Tema dukun vs setan.

  • Tokoh kiai selalu jadi pahlawan.

  • Ending predictable.

Film seperti Satu Kakak Tujuh Ponakan yang bergenre drama-komedi justru berhasil mencuri perhatian, jadi bukti bahwa penonton sebenarnya juga haus variasi.

Solusi: Biar Film Indonesia Nggak Cuma Horor

1. Penonton Harus Lebih Kritis

Kalau kita sebagai penonton cuma terus-terusan dukung film horor asal-asalan, ya industri akan terus ngasih yang sama. Coba mulai dukung film horor yang berkualitas kayak Pengabdi Setan, Qorin, atau Impetigore.

Juga, kasih kesempatan buat genre lain. Kalau film bagus dari genre non-horor rame ditonton, bioskop dan investor pasti ngelirik.

2. Bioskop & Investor Harus Berani Ambil Risiko

Beri ruang lebih untuk film-film non-horor di jam tayang strategis. Jangan semua slot diisi film seram. Kalau ada film drama atau thriller yang bagus, bantu promosikan juga.

Investor juga sebaiknya mendukung proyek dengan ide baru, meski risikonya lebih tinggi. Inovasi lahir dari keberanian mengambil langkah beda.

3. Pemerintah & Lembaga Sensor Perlu Terlibat

Perlu ada regulasi yang lebih ketat untuk seleksi film horor. Jangan semua film yang menakut-nakuti tanpa esensi dibiarkan masuk bioskop. Selain itu, dukung produksi film berkualitas melalui insentif atau pendanaan film indie dan eksperimental.

4. Sutradara & Produser Harus Lebih Kreatif

Kalau memang mau bikin horor, bikinlah yang punya visi. Eksplor sub-genre seperti horor psikologis, horor politik, atau horor filosofis. Banyak kisah lokal yang bisa dikemas secara elegan tanpa harus norak.

Contoh bagus? Keramat, Sebelum Iblis Menjemput, atau karya Joko Anwar yang terus mengangkat horor dengan pendekatan baru.

Kesimpulan:

Gue nggak anti-horor—gue juga nonton dan nikmatin film-film kayak KKN di Desa Penari, Pengabdi Setan, atau Makmum. Tapi kalau industri cuma bergantung sama satu genre, kita nggak akan berkembang. Kita butuh keragaman cerita biar perfilman Indonesia bisa bersaing di level internasional.

Jadi, yuk jadi penonton yang lebih kritis, berani nyoba hal baru, dan dukung sineas lokal dari berbagai genre. Siapa tau tahun depan, kita bisa nonton film sci-fi lokal pertama yang setara sama Parasite atau Train to Busan-nya Indonesia.

Lo sendiri gimana? Masih demen horor, atau udah mulai bosan?

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *